Senin, 28 Maret 2011

PERANAN GURU DALAM MENINGKATKAN MINAT BACA ANAK

Abstrak:


Guru dalam masyarakat modern adalah seorang profesional karena mengemban misi suatu industri-strategi dasar. Guru harus menguasai sains dan teknologi, serta membawa peserta didik kepada pengenalan sains, kesenian, dan teknologi. Bahkan lebih dari itu guru adalah sosok personifikasi dari moral dan keyakinan agama. Guru dalam menjalankan fungsinya dapat berperan sebagai motivator, dinamisator, pemberi kejelasan, fasilitator, dan penilaian yang baik. Peranan guru adalah sebagai pemimpin kelas, pengatur lingkungan, supervisor, juga konselor. Peranan guru sebagai motivator, dinamisator, dan lain sebagainya menjadi sangat penting dalam dunia pendidik. Karena, dari seorang guru masyarakat diharapkan agar dapat memperoleh ilmu pengetahuan, terlebih bagi kelangsungan hidup bangsa di tengah-tengah lintasan kemajuan perkembangan teknologi yang makin canggih dengan segala perubahan serta pergeseran nilai yang cenderung memberikan nuansa kepada kehidupan yang menuntut ilmu dan seni dalam kadar dinamik untuk mengadaptasikan diri. Oleh karena itu, guru harus menuntun anak didiknya dalam mengelola informasi yang diterima melalui media noncetak. Dan juga guru harus mengimbangi informasi media cetak tersebut dengan media cetak dengan menumbuhkembangkan minat baca anak didiknya.
Kata Kunci:
Guru, Minat Baca

A.   Pendahuluan


Pendidikan bagi kehidupan umat manusia di muka bumi termasuk bangsa Indonesia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan, mustahil suatu kelompok manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan aspirasi (cita-cita) untuk maju, sejahtera, dan bahagia menurut konsep pandangan hidup mereka.
Untuk memajukan kehidupan mereka itulah, maka membaca menjadi sarana utama yang perlu dikelola secara sistematis dan konsisten berdasarkan berbagai pandangan teoretikal dan praktikal sepanjang waktu sesuai lingkungan hidup manusia itu sendiri.  Seorang anak sebagai manusia adalah makhluk yang dinamis berminat dan bercita-cita ingin meraih kehidupan yang bahagia dan sejahtera, baik lahiriah maupun batiniah, duniawi maupun ukhrawi.
Kinerja peran guru dalam meningkatkan minat baca anak harus dimulai dari dirinya sendiri. Hal ini mengandung bahwa seorang guru harus mampu mewujudkan pribadi yang efektif untuk dapat melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya sebagai guru. Surya menyatakan bahwa keperibadian merupakan keseluruhan perilaku dalam berbagai aspek yang secara kualitatif akan membentuk keunikan atau kekhasan dalam interaksi dengan lingkungan di berbagai situasi dan kondisi.[1]
Sejalan dengan tugas utamanya sebagai pendidik di sekolah, guru melakukan tugas-tugas kinerja pendidikan dalam bimbingan, pengajaran, dan latihan. Semua kegiatan tersebut sangat terkait dengan upaya peningkatan minat anak-anak melalui keteladanan, penciptaan lingkungan, pendidikan yang kondusif, membimbing, mengajar, dan melatih anak-anak untuk membaca. Guru harus memiliki komitmen untuk semua dan akan menjadi teladan bagi lingkungan sehingga pada gilirannya akan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perwujudan pendidikan untuk semua.
Guru sebagai individu yang bekerja di dalam suatu organisasi pendidikan akan melakukan tugas pekerjaan ataupun memberikan kontribusi kepada organisasi yang bersangkutan, dengan harapan akan mendapat timbal balik berupa imbalan (rewards) ataupun intensif dari organisasi tersebut. Guru dalam melakukan aktivitas kegiatan proses belajar mengajar, yaitu berupa mempersiapkan materi pengajaran, mengajar di kelas, ataupun melakukan evaluasi dari hasil belajar siswa, dengan harapan akan mendapatkan imbalan dari pihak sekolah yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan.
Salah satu peranan guru adalah sebagai motivator, dinamisator dan lain sebagainya menjadi sangat penting dalam dunia pendidikan. Dalam konteks yang lebih jauh peranan guru dalam masyarakat juga mempunyai posisi yang tidak kalah pentingnya. Masyarakat menempatkan guru pada suatu tempat yang lebih terhormat di dalam lingkungannya. Karena dari seorang guru masyarakat diharapkan agar dapat memperoleh ilmu pengetahuan, terlebih bagi kelangsungan hidup bangsa di tengah-tengah lintasan kemajuan perkembangan teknologi yang makin canggih dengan segala perubahan serta pergeseran nilai yang cenderung memberikan nuansa kepada kehidupan yang menuntut ilmu dan seni dalam kadar dinamik untuk mengadaptasikan diri.
Motivasi akan menyebabkan terjadinya suatu perubahan energi pada diri anak, sehingga akan bergayut pada persoalan kejiwaan, perasaan, dan emosi untuk melakukan sesuatu.  Hal ini didorong oleh adanya tujuan yang akan dicapai. Syah mengemukakan bahwa motivasi dapat dikategorikan atas dua macam, yaitu “motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik”.[2] Motivasi intrinsik merupakan motivasi yang timbul dari dalam diri siswa tanpa paksaan dari luar, karena dalam diri individu sudah ada dorongan melakukan sesuatu. Sedang motivasi ekstrinsik merupakan motivasi yang timbul karena adanya dorongan dari luar diri siswa. Motivasi merupakan sesuatu yang menjadi pendorong timbulnya suatu tingkah laku/perbuatan. Dalam hubungan ini, baik motivasi instrinsik maupun motivasi ekstrinsik dapat mendorong dan membuat anak tekun untuk belajar membaca.
Minat yang dapat menunjang belajar adalah minat kepada bahan/mata pelajaran, kepada guru yang mengajarnya. Apabila anak tidak berminat kepada bahan atau mata pelajaran juga kepada gurunya, maka anak tidak akan mau belajar. Oleh karena itu apabila anak tidak berminat sebaiknya dibangkitkan sikap positif (sikap menerima) kepada pelajaran dan kepada gurunya, agar siswa mau belajar memperhatikan pelajaran.
Minat dalam belajar berperan sebagai kekuatan yang akan mendorong anak untuk giat membaca. Anak yang berminat atau sikapnya senang kepada pelajaran akan tampak mendorong terus untuk tekun membaca, berbeda dengan anak sikapnya hanya menerima kepada pelajaran, mereka hanya tergerak untuk mau membaca tetapi sulit untuk bisa terus tekun karena tidak ada pendorongnya. Membaca merupakan aktivitas kompleks yang mencakup fisik dan mental. Aktivitas fisik yang terakit dengan membaca adalah gerak mata dan ketajaman penglihatan. Aktivitas mental mencakup ingatan dan pemahaman.

B.   Guru
1.   Pengertian
Syah mengemukakan bahwa guru ialah “seseorang yang pekerjaannya mengajar orang lain”.[3] Sedang Djamarah dan Zain menyatakan bahwa guru adalah “tenaga pendidik yang memberikan sejumlah ilmu pengetahuan kepada anak didik di sekolah”.[4] Guru adalah orang yang berpengalaman dalam bidang profesinya. Dengan keilmuan yang dimilikinya, dia dapat menjadikan anak didik menjadi orang yang cerdas. Guru dalam masyarakat modern adalah seorang profesional karena mengemban misi suatu industri-strategi dasar. Selanjutnya dalam Depag RI dikemukakan bahwa guru adalah:
Pegawai negeri sipil yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan pendidikan di sekolah (termasuk hak yang melekat dalam jabatan itu).[5]
Dengan demikian, guru adalah seorang yang berkompeten dan profesional serta berpengalaman dalam mentransfer sejumlah ilmu pengetahuan kepada anak di sekolah. Guru harus menguasai sains dan teknologi, serta membawa peserta didik kepada pengenalan sains, kesenian dan teknologi. Bahkan lebih dari itu guru adalah sosok personifikasi dari moral dan keyakinan agama.
2.   Karaktristik Kepribadian Guru
Kepribadian adalah faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan seorang guru sebagai pengembang sumber daya manusia. Karena, di samping ia berperan sebagai pembimbing dan pembantu, guru juga berperan sebagai anutan. Mengenal pentingnya kepribadian guru, seorang psikolog terkemuka, Zakiah Daradjat menegaskan seperti yang disungting oleh Syah bahwa:
Kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia akan menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi hari depan anak didik terutama bagi anak didik yang masih kecil (tingkat sekolah dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa atau tingkat menengah.[6]
Karakteristik kepribadian yang berkaitan dengan keberhasilan guru dalam menggeluti profesinya adalah meliputi: (1) fleksibilitas kognitif dan (2) keterbukaan psikologis.[7] Untuk lebih jelasnya, dua ciri khas kepribadian tersebut akan diuraikan secukupnya berikut ini:
a.    Fleksibilitas kognitif
Fleksibilitas kognitif atau keluwesan ranah cipta merupakan kemampuan berpikir yang diikuti dengan tindakan secara simultan dan memadai dalam situasi tertentu. Kebalikannya adalah frigiditas kognitif atau kekakuan ranah cipta yang ditandai dengan kekurangmampuan berpikir dan bertindak yang sesuai dengan situasi yang sedang dihadapi.
Guru yang fleksibel pada umumnya ditandai dengan keterbukaan berpikir dan beradaptasi.  Selain itu, ia juga memiliki resistensi atau daya tahan terhadap ketertutupan ranah cipta yang premature (terlampau dini) dalam pengamatan dan pengenalan. Ketika mengamati dan mengenali suatu objek atau situasi tertentu, seorang guru yang fleksibel selalu berpikir kritis. Berpikir kritis ialah berpikir dengan penuh pertimbangan akal sehat yang dipusatkan pada pengambilan keputusan untuk mempercayai atau mengingkari sesuatu, dan melakukan atau menghindari sesuatu.
b.   Keterbukaan psikologis pribadi guru
Guru yang terbuka secara psikologis biasanya ditandai dengan kesediaannya yang relatif tinggi untuk mengkomunikasikan dirinya dengan faktor-faktor ekstern antara lain siswa, teman sejawat, dan lingkungan pendidikan tempatnya bekerja. Ia mau menerima kritik dan ikhlas. Di samping itu ia juga memiliki empati, yakni respons afektif terhadap pengalaman emosional dan perasaan tertentu orang lain. Jika salah seorang muridnya diketahui sedang mengalami kemalangan, umpamanya, maka ia turut bersedih dan menunjukan simpati serta berusaha memberi jalan keluar.
Keterbukaan psikologis sangat penting bagi guru mengingat posisinya sebagai anutan siswa. Selain sisi positif sebagaimana tersebut di atas, ada pula signifikansi lain yang terkandung dalam keterbukaan psikologis guru seperti berikut ini.
Pertama, keterbukaan psikologis merupakan prakondisi atau prasyarat penting yang perlu dimiliki guru untuk memahami pikiran dan perasaan orang lain. Kedua, keterbukaan psikologis diperlukan untuk menciptakan suasana hubungan antarpribadi guru dan siswa yang harmonis, sehingga mendorong siswa untuk mengembangkan dirinya secara bebas dan tanpa ganjalan.
Keterbukaan psikologis merupakan sebuah konsep yang menyatakan kontinum yakni rangkaian kesatuan yang bermula dari titik keterbukaan psikologi sampai sebaliknya, ketertutupan psikologis. Posisi seorang guru dalam kontinum tersebut ditentukan oleh kemampuannya dalam menggunakan pengalamannya sendiri dalam hal berkeinginan, berperasaaan, dan berfantasi untuk menyesuaikan diri. Jika kemampuan dan keterampilan dalam penyesuaian tadi makin besar, maka makin dekat pula tempat pribadinya dalam kutub kontinum keterbukaan psikologis tersebut. Secara sederhana, ini bermakna bahwa jika guru lebih cakap menyesuaikan diri, maka ia akan lebih memiliki keterbukaan diri.
Ditinjau dari sudut fungsi dan signifikansinya, keterbukaan psikologis merupakan karakteristik kepribadian yang penting bagi guru dalam hubungannya sebagai direktur belajar selain sebagai anutan siswanya. Oleh karena itu, hanya guru yang memiliki keterbukaan psikologis yang benar-benar dapat diharapkan berhasil dalam mengelola proses belajar-mengajar. Optimisme ini muncul karena guru yang terbuka dapat lebih terbuka dalam berpikir dan bertindak sesuai dengan kebutuhan para siswanya, bukan hanya kebutuhan guru itu sendiri.
3.   Kompetensi Guru
Pengertian dasar kompetensi adalah kemampuan atau kecakapan. Padanan kata yang berasal dari bahasa Inggris ini cukup banyak dan yang lebih relevan dengan pembahasan ini ialah kata proficiency dan ability yang memiliki arti kurang lebih sama yaitu kemampuan. Hanya, proficiency lebih sering digunakan orang untuk menyatakan kemampuan berperingkat tinggi.
Di samping berarti kemampuan, kompetensi juga berarti keadaan berwewenang atau memenuhi syarat menurut ketentuan hukum. Adapun kompetensi guru menurut Djamarah dan Zain adalah: “merupakan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara bertanggung jawab dan layak”.[8] Jadi, kompetensi profesionalisme guru dapat diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan guru dalam menjalankan profesi keguruannya. Artinya, guru yang piawai dalam melaksanakan profesinya dapat disebut sebagai guru yang kompeten dan profesional.
Guru adalah pendidik yang membelajarkan siswa, dalam pembelajaran siswa maka guru harus melakukan seperti yang dikemukakan oleh Dimyati dan Mudjiono, yaitu “(1) pengorganisasian belajar, (2) penyajian bahan belajar dengan pendekatan pembelajaran tertentu, dan (3) melakukan evaluasi hasil belajar”.[9]

C.   Minat Baca

1.   Pengertian Minat
Minat adalah sesuatu yang sangat penting bagi seseorang dalam melakukan kegiatan dengan baik, sebagai sesuatu aspek kejiwaan, minat tidak saja dapat mewarnai perilaku seseorang, tetapi lebih dari itu minat mendorong untuk melakukan sesuatu kegiatan dan menyebabkan seseorang menaruh perhatian dan merelakan dirinya untuk terikat pada suatu kegiatan. Sejalan dengan ungkapan di atas, Syah mengemukakan bahwa minat adalah “kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu”.[10]
Sabri menyatakan bahwa minat sebagai “suatu kecenderungan untuk selalu memperhatikan dan mengingat sesuatu secara terus menerus”.[11] Minat merupakan ciri-ciri keinginan yang dilakukan melalui tindakan oleh seseorang individu yang dicobanya, dan ditujukan pada hal-hal yang disukainya. Minat merupakan kesadaran seseorang bahwa suatu objek, seseorang, suatu soal atau situasi mengandung sangkut paut dirinya. Minat berarti pula kecenderungan jiwa yang tetap kepada sesuatu hal yang berharga bagi seseorang. Sesuatu yang berharga bagi seseorang adalah yang sesuai dengan kebutuhannya.
Minat adalah sesuatu yang sangat penting bagi seseorang dalam melakukan kegiatan dengan baik. Sebagai aspek kejiwaan minat bukan saja mewarnai perilaku seseorang, melainkan lebih dari itu. Minat mendorong orang untuk melakukan sesuatu kegiatan dan menyebabkan seseorang menaruh perhatian untuk terikat pada suatu kegiatan.
Dengan demikian, minat adalah suatu unsur psikologis yang ada dalam diri manusia yang timbul karena adanya rasa simpati, rasa senang, rasa ingin tahu, dan rasa ingin memiliki terhadap sesuatu.
2.   Unsur-unsur Minat
Minat mengandung unsur-unsur seperti yang dikemukakan oleh Abror adalah “(1) unsur kognisi (mengenal), (2) unsur emosi (perasaan), dan (3) unsur konasi (kehendak)”.[12]
Unsur kognisi dalam arti itu didahului oleh pengetahuan dan informasi mengenai objek yang dituju oleh minat tersebut.  Unsur emosi, karena dalam partisipasi atau pengalaman itu disertai dengan perasaan tertentu (biasanya perasaan senang). Sedangkan unsur konasi merupakan kelanjutan dari kedua unsur tersebut yakni yang diwujudkan dalam bentuk kemauan dan keinginan untuk melakukan suatu kegiatan.
3.   Macam-macam Minat
Azhari mengemukakan bahwa minat dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yakni “minat primitif dan minat kultural”.[13] Minat primitif berkisar pada soal makan dan kebebasan aktivitas, sedang minat kultural adalah meliputi pemenuhan kepuasan yang lebih tinggi lagi yang hanya bisa dicapai melalui belajar. Minat dapat dikelompokkan menjadi tiga macam sebagai berikut:
a.    Minat volunter; yaitu minat yang timbul dengan sendirinya dari pihak pelajar tanpa pengaruh yang sengaja dari luar,
b.   Minat involunter; yaitu minat yang timbul dari dalam diri pelajar, dengan pengaruh dari satu situasi yang sengaja diciptakan pengajar, dan
c.    Minat nonvolunter; yaitu minat yang ditimbulkan secara sengaja dipaksakan atau diharuskan.
Dalam kegiatan belajar terdapat dua macam minat, yakni minat belajar spontan dan minat belajar terpola. Minat belajar spontan adalah minat belajar yang tumbuh dari motivasi personal siswa itu sendiri tanpa adanya pengaruh dari pihak luar, sedangkan minat belajar terpola adalah minat belajar yang berlangsung dalam kegiatan belajar dengan diawali adanya pengaruh serta serangkaian tindakan yang terpola terutama dalam kaitannya dengan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Dalam kegiatan belajar siswa, keberadaan minat belajar spontan dan minat belajar terpola pada dasarnya tidak dapat dipisahkan karena minat belajar spontan pada awalnya secara relatif juga dibentuk melalui minat belajar terpola, sementara minat belajar terpola tidak mungkin dapat berlangsung tanpa disertai motivasi personal siswa itu sendiri.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa minat belajar tidak dibawa sejak lahir (keturunan), tetapi minat belajar dipandang sebagai hasil dari belajar melalui pengalaman dan interaksi dengan lingkungan. Hasil belajar tidak hanya ditujukan dalam pengetahuan dan keterampilan yang dapat dinyatakan dalam tingkah laku nyata, tetapi juga meliputi sikap, nilai-nilai, dan minat. Pendapat tersebut apabila dikaitkan dengan pemerolehan hasil belajar yang bersifat individual, maka sama keberadaannya dengan minat, setiap orang akan mempunyai minat yang berbeda begitu pula dengan minat belajar, keberadaannya sangat didukung oleh lingkungan.
Dengan demikian, minat mempunyai andil yang sangat besar dalam menunjang keberhasilan belajar siswa. Seorang siswa akan memperoleh hasil yang maksimal dari belajarnya apabila dia berminat terhadap sesuatu yang dipelajarinya.
Minat relatif tetap, namun tidak mustahil minat itu berubah. Perubahan minat bergantung pada totalitas kepribadian seseorang. Oleh karena itu, apabila pribadi seseorang itu berubah disebabkan oleh perubahan lingkungan, maka minat seseorang juga akan ikut berubah.
4.   Hakikat Membaca
Kemampuan membaca merupakan dasar untuk menguasai berbagai bidang studi. Jika anak pada usia sekolah permulaan tidak segera memiliki kemampuan membaca, maka ia akan mengalami banyak kesulitan dalam mempelajari berbagai bidang studi pada kelas-kelas berikutnya. Oleh karena itu, anak harus belajar membaca agar ia dapat membaca untuk belajar. Membaca adalah salah satu inti dari belajar. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan dalam PP RI No. 19 Tahun 2005 Pasal 21 ayat 2 bahwa “pelaksanaan proses pembelajaran dilakukan dengan mengembangkan budaya membaca dan menulis”.
Kemampuan membaca tidak hanya memungkinkan seseorang meningkatkan keterampilan kerja dan penguasaan bberbagai bidang akademik, tetapi juga memungkinkan berpartisipasi dalam kehidupan sosial budaya, politik, dan memenuhi kebutuhan emosional Membaca juga juga bermanfaat untuk rekreasi atau untuk memperoleh kesenangan. Mengingat banyaknya manfaat kemampuan membaca, maka anak harus belajar membaca dan kesulitan belajar membaca kalau dapat harus diatasi secepat mungkin.
Meskipun membaca merupakan suatu kemampuan yang sangat dibutuhkan, tetapi ternyata tidak mudah untuk menjelaskan hakikat membaca. Abdurrahman mengemukakan bahwa “membaca bukan hanya mengucapkan bahasa tulisan atau lambing bunyi bahasa, melainkan juga menanggapi dan memahami isi bahasa tulisan”.[14] Dengan demikian, membaca pada hakikatnya merupakan suatu bentuk komunikasi tulis.
Membaca merupakan aktivitas kompleks yang memerlukan sejumlah besar tindakan terpisah-pisah, mencakup penggunaan pengertian, khayalan, pengamatan, dan ingatan. Manusia tidak mungkin dapat membaca tanpa menggerakan mata dan menggunakan pikiran. Abdurrahman (1999:200) mengemukakan bahwa:
Membaca merupakan pengenalan simbol-simbol bahasa tulis yang merupakan stimulus yang membantu proses mengingat tentang apa yang dibaca, untuk membangun suatu pengertian melalui pengalaman yang telah dimiliki.[15]
Bertolak dari berbagai definisi membaca yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa membaca merupakan aktivitas kompleks yang mencakup fisik dan mental. Aktivitas fisik yang terkait dengan membaca adalah gerak mata dan ketajaman penglihatan. Aktivitas mental mencakup ingatan dan pemahaman. Orang dapat membaca dengan baik jika mampu melihat huruf-huruf dengan jelas. Mampu menggerakkan mata secara lincah, mengingat symbol-simbol bahasa dengan tepat, dan memiliki penalaran yang cukup untuk memahami bacaan.
Meskipun tujuan akhir membaca adalah untuk isi bacaan, tujuan semacam itu ternyata belum dapat sepenuhnya dicapai oleh anak-anak, terutama pada saat awal belajar membaca. Banyak anak yang dapat membaca secara secara lancar suatu bahan bacaan tetapi tidak memahami isi bahan bacaan tersebut. Ini menunjukkan bahwa kemampuan membaca bukan hanya terkait erat dengan kematangan gerak motorik mata tetapi juga tahap perkembangan kognitif. Mempersiapkan anak untuk belajar membaca merupakan suatu proses yang panjang. Hornsby menganjurkan agar ibu sudah mulai bercakap-cakap dengan bayi sejak dilahirkan. Seorang ibu hendaknya juga harus menjelaskan segala yang dilakukan bersama anak, karena menurut Hornsby anak baru memahami makna suatu kata setelah sekitar 500 kali anak mendengarkan kata tersebut. Dengan demikian, proses mempersiapkan anak untuk belajar membaca harus dimulai sejak bayi dilahirkan.
Menurut Abdurrahman ada lima tahap perkembangan membaca yaitu:
a.    kesiapan membaca,
b.   membaca permulaan,
c.    keterampilan membaca cepat,
d.   membaca luas, dan
e.    membaca yang sesungguhnya.[16]
Tahap perkembangan kesiapan membaca mencakup rentang waktu dari sejak dilahirkan hingga pelajaran membaca diberikan, umumnya pada saat masuk kelas satu SD. Kesiapan menunjuk taraf perkembangan yang diperlukan untuk belajar secara efisien. Sedangkan faktor yang memberikan sumbangan bagi keberhasilan membaca adalah: (1) kematangan mental,        (2) kemampuan visual, (3) kemampuan medengarkan, (4) perkembangan wicara dan bahasa, (5) keterampilan berpikir dan memperhatikan, (6) perkembangan motorik, (7) kematangan sosial dan emosional, dan (9) motivasi dan minat.
Tahap membaca permulaan umumnya dimulai sejak anak masuk kelas satu SD, yaitu pada saat berusia sekitar enam tahun. Meskipun demikian, ada anak yang sudah belajar membaca lebih awal dan ada pula yang baru belajar membaca pada usia tujuh atau delapan tahun. Sudah lama terjadi perdebatan anatar peneliti yang menekankan penggunaan pendekatan pengajaran yang menekankan pada pengenalan simbol dengan yang menekankan pada pengenalan kata atau kalimat secara utuh.
Tahap keterampilan membaca cepat atau membaca lancar umunya terjadi pada saat anak-anak duduk di kelas dua atau tiga. Untuk menguasai keterampilan membaca cepat menurut Abdurrahman “diperlukan pemahaman tentang hubungan simbol bunyi”.[17] Bagi anak-anak kelas satu mungkin lebih tepat digunakan metode yang menakankan pada pengenalan huruf-huruf sedangkan bagi anak-anak yang duduk di kelas dua atau tiga digunakan metode tiga tahap atau SAS.
Tahap membaca luas umumnya terjadi pada saat anak-anak telah duduk di kelas empat atau lima SD. Pada tahap ini anak-anak gemar dan menikmati sekali membaca. Mereka ummnya membaca buku-buku cerita atau majalah dengan penuh minat sehingga pelajaran membaca dirasakan mudah. Anak-anak yang sulit membaca jarang yang mampu mencapai tahapan ini meskipun usia mereka sudah lebih tinggi daripada teman-teman lainnya.
Tahap membaca yang sesungguhnya umumnya terjadi ketika anak-anak sudah duduk di SLTP dan berlanjut hingga dewasa. Pada tahap ini anak-anak tidak lagi belajar membaca tetapi membaca untuk belajar. Mereka belajar untuk memhami, memberikan kritik, atau untuk mempelajari bidang studi tertentu. Kemahiran membaca pada orang dewasa pada hakikatnya tergantung pada latihan membaca yang dilakukan pada tahapan-tahapan sebelumnya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hakikat membaca adalah memahami isi bacaan. Meskipun demikian, untuk sampai kepada kemampuan memahami isi bacaan, ada tahapan-tahapan kemampuan membaca yang perlu dilalui. Dengan memahami adanya tahapan-tahapan kemampuan membaca tersebut maka guru diharapkan dapat menyesuaikan tujuan-tujuan pembelajaran dengan tahapan kemampuan belajar membaca tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikemukakan bahwa minat baca adalah keinginan yang timbul karena adanya rasa simpati, rasa senang, rasa ingin tahu, dan rasa ingin memiliki dalam diri anak terhadap suatu bacaan.
D. Peranan Guru dalam Meningkatkan Minat Baca Anak
Wahyudin, dkk. mengemukakan bahwa peranan adalah “seperangkat tingkah laku atau tugas yang harus atau dapat dilakukan seseorang pada situasi tertentu sesuai dengan fungsi dan kedudukannya”.[18] Secara umum peranan yang mesti dilakukan guru dalam melaksanakan tugasnya di sekolah.
Bila ditelusuri secara mendalam, proses belajar mengajar yang merupakan inti dari proses pendidikan formal di sekolah di dalamnya terjadi interaksi antara berbagai komponen pengajaran. Komponen-komponen itu menurut Ali dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori utama, yaitu: “(1) guru, (2) isi atau materi pelajaran, dan (3) siswa”.[19]
Interaksi antara ketiga komponen utama melibatkan sarana dan prasarana, seperti metode, media dan penataan lingkungan tempat belajar, sehingga tercipta situasi belajar mengajar yang memungkinkan tercapainya tujuan yang telah direncanakan sebelumnya. Dengan demikian, guru yang memegang peranan sentral dalam proses belajar mengajar, setidak-tidaknya menjalankan tiga macam tugas utama, yaitu:
1.   Merencanakan.
Perencanaan yang dibuat merupakan antisipasi dan perkiraan tentang apa yang akan dilakukan dalam pengajaran, sehingga tercipta suatu situasi yang memungkinkan terjadinya proses belajar yang dapat mengantarkan siswa mencapai tujuan yang diharapkan. Perencanaan ini meliputi: (a) tujuan apa yang hendak dicapai, yaitu bentuk-bentuk tingkah laku apa yang diinginkan dapat dicapai atau dapat dimiliki oleh siswa setelah terjadinya proses belajar mengajar; (b) bahan pelajaran yang dapat mengantarkan siswa mencapai tujuan; (c) bagaimana proses belajar mengajar yang akan diciptakan oleh guru agar siswa mencapai tujuan secara efektif dan efisien; dan (d) bagaimana menciptakan dan menggunakan alat untuk mengetahui atau mengukur apakah tujuan itu tercapai atau tidak.
2.  Melaksanakan pengajaran.
Pelaksanaan pengajaran selayaknya berpegang pada apa yang tertuang dalam perencanaan. Namun situasi yang dihadapi guru dalam melaksanakan pengajaran mempunyai pengaruh besar terhadap proses belajar mengajar itu sendiri. Oleh sebab itu, guru sepatutnya peka terhadap berbagai situasi yang dihadapi, sehingga dapat menyesuaikan pola tingkah lakunya dalam mengajar dengan situasi yang dihadapi. Situasi pengajaran itu sendiri banyak dipengaruhi oleh faktor- faktor sebagai berikut:
a.    Faktor guru. Setiap guru memiliki pola mengajar sendiri-sendiri. Pola mengajar ini tercermin dalam tingkah laku pada waktu melaksanakan pengajaran.  Gaya mengajar ini mencerminkan bagaimana pelaksanaan pengajaran guru yang bersangkutan, yang dipengaruhi oleh pandangannya sendiri tentang mengajar, konsep-konsep psikologi yang digunakan, serta kurikulum yang dilaksanakan.
b.   Faktor siswa. Setiap siswa mempunyai keragaman dalam hal kecakapan manapun kepribadian. Kecakapan yang dimiliki masing-masing siswa itu meliputi kecakapan potensial yang memungkinkan untuk dikembangkan, seperti bakat dan kecerdasan, maupun kecakapan yang diperoleh dari hasil belajar. Adapun yang dimaksud dengan kepribadian adalah ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh individu yang bersifat menonjol, yang membedakan dirinya dari orang lain. Keragaman dalam kecakapan dan kepribadian ini dapat mempengaruhi terhadap situasi yang dihadapi dalam proses belajar mengajar.
c.    Faktor kurikulum. Secara sederhana arti kurikulum dalam kajian ini menggambarkan pada isi atau pelajaran dan pola interaksi belajar mengajar antara guru dan siswa untuk mencapai tujuan tertentu. Bahan pelajaran sebagai isi kurikulum mengacu kepada tujuan yang hendak dicapai. Demikian pula pola interaksi guru-siswa. Oleh sebab itu, tujuan yang hendak dicapai itu secara khusus menggambarkan bentuk perubahan tingkah laku yang diharapkan dapat dicapai siswa melalui proses belajar yang beraneka ragam. Dengan demikian, baik bahan maupun pola interaksi guru siswa pun beraneka ragam pula. Hal ini dapat menimbulkan situasi yang bervariasi dalam proses belajar mengajar.
d.   Faktor lingkungan. Lingkungan fisik tempat belajar dengan istilah millieu yang berarti konteks terjadinya pengalaman belajar. Lingkungan ini meliputi keadan ruangan, tata ruang, dan berbagai situasi fisik yang ada di sekitar kelas atau sekitar tempat berlangsungnya proses belajar mengajar. Lingkungan ini pun dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi situasi belajar.
Situasi lingkungan mempengaruhi proses dan hasil pendidikan. Situasi lingkungan ini meliputi lingkungan fisik, lingkungan teknis dan lingkungan sosio-kultural. Di mana situasi lingkungan ini berpengaruh secara negatif terhadap pendidikan, maka lingkungan itu menjadi pembatas pendidikan. Lingkungan hidup anak itu akan memberikan pengaruh yang besar terhadap pembentukan akhlak dan pembentukan pribadinya. Oleh karena itu, lingkungan dapat dikatakan positif dan dapat pula dikatakan negatif.
Lingkungan dapat dikatakan positif apabila dapat memberikan dorongan dan rangsangan kepada anak-anak untuk berbuat hal-hal yang baik. Sebagai contoh anak di sekolah mendapatkan pendidikan agama dari guru-guru agama, juga keluarganya patut terhadap ajaran agama ditambah dengan lingkungan masyarakatnya terdiri dari orang-orang yang aktif menjalankan ajaran agama, maka pribadi anak akan terbina dengan keadaan seperti itu juga. Sedangkan lingkungan dikatakan negatif apabila keadaan sekitar anak itu tidak memberikan pengaruh yang baik terhadap perkembangan dan pendidikan anak didik.
Ada beberapa macam lingkungan yang nantinya dapat mempengaruhi pembentukan dan perkembangan anak. Adapun lingkungan yang dimaksudkan adalah: (a) Lingkungan tempat di mana pendidikan berlangsung yaitu lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. (b) Lingkungan tempat di mana anak itu tinggal atau daerah di mana anak itu berdiam. Misalnya: kota, desa, pesisir, daerah yang maju atau tidak ramai/sepi.
3.  Memberikan balikan.
Balikan mempunyai fungsi untuk membantu siswa memelihara minat dan antusias siswa dalam melaksanakan tugas belajar. Salah satu alasan yang  dikemukakan adalah, bahwa belajar itu ditandai oleh adanya keberhasilan dan kegagalan. Bila hal ini diketahui oleh siswa, akan membawa dampak berupa hadiah dan hukuman. Keberhasilan berdampak hadiah (reward) dan kegagalan berdampak hukuman (punishment). Suatu hadiah sebagai dampak dari keberhasilan yang dicapai dapat menjadi penguat (reinforcement) terhadap hasil belajar; sedangkan suatu hukuman sebagai dampak dari kegagalan dapat menghilangkan tingkah laku yang tidak diinginkan. Dengan memperoleh hadiah  tersebut individu akan merasakan suatu insentif yang dapat memberikan rangsangan dan motivasi baru dalam belajar. Sedangkan dengan hukuman menyebabkan individu tidak mengulangi kegagalan yang dibuatnya. Itu sebabnya, maka dalam proses belajar mengajar, balikan sangat penting artinya bagi siswa dalam belajar.
Upaya memberikan balikan harus dilakukan secara terus menerus. Dengan demikian, minat dan antusias siswa dalam belajar selalu terpelihara. Upaya itu dapat dilakukan dengan jalan melakukan evaluasi. Hasil evaluasi itu sendiri harus diberitahukan kepada siswa yang bersangkutan, sehingga mereka dapat mengetahui letak keberhasilandan kegagalannya. Evaluasi yang demikian benar-benar berfungsi sebagai balikan, baik bagi guru maupun bagi siswa.
Di dalam melaksanakan proses belajar mengajar, guru dituntut untuk memiliki berbagai ketrampilan yang bertalian dengan jawaban terhadap suatu pertanyaan, yakni bagaimana menyelenggarakan pengajaran yang dapat mengantarkan siswa mencapai tujuan yang direncanakan. Pertanyaan tersebut menuntun kepada terpenuhinya berbagai persyaratan yang perlu dimiliki oleh seorang guru, sehingga dapt melaksanakan tugas dengan berhasil. Pernyataan-pernyataan itu meliputi:
a.    Penguasaan materi pelajaran. Materi pelajaran merupakan isi pengajaran yang dibawakan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Sulit dibayangkan, bila seorang guru mengajar tanpa menguasai materi pelajaran. Bahkan lebih dari itu, agar dapat mencapai hasil yang lebih baik, guru perlu menguasai bukan hanya sekedar materi tertentu yang merupakan bagian dari suatu mata pelajaran saja, tetapi penguasaan yang lebih luas terhadap materi itu sendiri dapat menuntun hasil yang lebih baik.
Penguasaan materi secara baik yang menjadi bagian dari kemampuan guru, biasanya merupakan tuntutan pertama dalam profesi keguruan. Namun seberpa banyak materi harus dikuasi belum ada tolok ukurnya. Dalam praktek sering kali dapat dirasakan atau diperoleh kesan tentang luas tidaknya penguasaan materi yang dimiliki guru. Namun itu pun bukan merupakan ukuran yang bersifat pasti. Sebab, masih banyak faktor yang berpengaruh terhadap pengajaran selain dari itu. Jadi, yang menjadi ketentuan adalah, bahwa guru harus menguasai apa yang akan diajarkan, agar dapat memberi pengaruh terhadap pengalaman belajar yang berarti kepada siswa.
b.   Kemampuan menerapkan prinsip-prinsip psikologi. Prinsip-prinsip psikologi yang biasanya merupakan hasil penelitian para ahli, menjelaskan kepada kita tentang tingkah laku manusia dalam berbagai konteks. Mengajar pada intinya bertalian dengan proses mengubah tingkah laku. Agar memperoleh hasil yang diinginkan secara baik, perlu menerapkan prinsip-prinsip psikologi, terutama yang berkaitan dengan belajar.
Di samping itu, para ahli baik ahli pendidikan maupun ahli psikologi mengakui tentang adanya perbedaan individual yang dimiliki oleh setiap individu.  Perbedaan-perbedaan itu meliputi kecerdasan, bakat, minat, sikap harapan dan aspek-aspek kepribadian lainnya. Perbedaan ini dapat memberi pengaruh terhadap hasil belajar. Dengan berpegang kepada prinsip perbedaan individual ini guru dapat mencari strategi belajar mengajar yang tepat, agar proses belajar mengajar yang dilaksanakan mencapai hasil yang optimal.
c.    Kemampuan menyelenggarakan proses belajar mengajar. Kemampuan menyelenggarakan proses belajar mengajar merupakan salah satu persyaratan utama seorang guru dalam mengupayakan hasil yang lebih baik dari pengajaran yang dilaksanakan. Kemampuan ini memerlukan suatu landasan konseptual dan pengalaman praktek. Itu sebabnya maka di lembaga-lembaga pendidikan yang mendidik calon guru, menyiapkan para calon guru dengan memberikan bekal-bekal teoretis dan pengalaman praktik kependidikan. Bekal teoretis meliputi berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang dapat menunjang pemahaman mengenai teori dan konsep belajar-mengajar. Sedangkan bekal praktis diperoleh melalui kegiatan pengamatan terhadap guru dalam mengajar serta melakukan praktik. Hal ini dimaksudkan agar mereka mengenal dan mengalami situasi nyata dalam pelaksanaan pengajaran.
Mengajar dalam praktiknya merupakan suatu proses penciptaan lingkungan, baik dilakukan guru maupun siswa agar terjadi proses belajar. Penciptaan lingkungan meliputi juga penataan nilai-nilai dan kepercayaan yang akan diupayakan untuk dicapai. Agar penatan ini mencapai hasil yang optimal, guru harus memahami berbagai konsep dan teori yang bertalian dengan proses belajar mengajar.
d.   Kemampuan menyesuaikan diri dengan berbagai situasi guru. Secara formal maupun profesional tugas guru seringkali menghadapi berbagai permasalahan yang timbul akibat adanya berbagai perubahan yang terjadi di lingkungan tugas profesonalnya. Perubahan dalam bidang kurikulum, pembaharuan dalam sistem pengajaran, serta anjuran-anjuran dari atas untuk menerapkan konsep-konsep baru dalam pelaksanaan tugas, seperti CBSA, sistem belajar tuntas, sistem evaluasi, dan sebagainya seringkali mengejutkan. Hal ini membawa dampak kebingungan para guru dalam melaksanakan tugas. Kebingungan tersebut di antaranya diakibatkan oleh kurangnya persiapan guru menerima berbagai pembaharuan. Dampak yang terjadi adalah ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan berbagai situasi, sehingga muncul berbagai sikap yang tidak mendukung pembaharuan.
Kemampuan menyesuaikan diri dengan berbagai pembaharuan pada dasarnya muncul seiring dengan adanya sikap positif untuk mau meningkatkan diri dalam karir profesionalnya. Sikap ini dapat muncul bila guru memiliki kecakapan yang memadai mengenai hal-hal yang bertalian dengan proses belajar mengajar, sehingga perubahan yang terjadi di lingkungan profesinya tidak terlalu mengejutkan, bahkan guru yang bersangkutan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan atau situasi baru yang dihadapi.
Sehubungan dengan uraian tersebut di atas, maka guru dalam masyarakat modern adalah seorang profesional karena mengemban misi suatu industri-strategi dasar. Guru harus menguasai sains dan teknologi, serta membawa peserta didik kepada pengenalan sains, kesenian dan teknologi. Bahkan lebih dari itu guru adalah sosok personifikasi dari moral dan keyakinan agama. Guru dalam menjalankan fungsinya dapat berperan sebagai motivator, dinamisator, pemberi kejelasan, fasilitator, dan penilaian yang baik.
Peranan guru adalah sebagai pemimpin kelas, pengatur lingkungan, supervisor, juga konselor. Peranan guru sebagai motivator, dinamisator, dan lain sebagainya menjadi sangat penting dalam dunia pendidik. Dalam konteks yang lebih jauh peranan guru dalam masyarakat juga mempunyai posisi yang tidak kalah pentingnya. Masyarakat menempatkan guru pada suatu tempat yang lebih terhormat di dalam lingkungannya. Karena dari seorang guru masyarakat diharapkan agar dapat memperoleh ilmu pengetahuan, terlebih bagi kelangsungan hidup bangsa di tengah-tengah lintasan kemajuan perkembangan teknologi yang makin canggih dengan segala perubahan serta pergeseran nilai yang cenderung memberikan nuansa kepada kehidupan yang menuntut ilmu dan seni dalam kadar dinamik untuk mengadaptasikan diri. Oleh karena itu, guru harus menuntun anak didiknya dalam mengelola informasi yang diterima melalui media noncetak. Dan juga guru harus mengimbangi informasi media cetak tersebut dengan media cetak dengan menumbuhkembangkan minat baca anak didiknya.
Untuk menumbuhkembangkan serta meningkatkan minat baca anak guru harus menjalankan perannya seperti yang dikemukakan oleh Surya yakni sebagai “pelatih, konselor, manajer pembelajaran, partisipan, pemimpin, pembelajar, dan pengarang”.[20]
Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa peranan guru dalam meningkatkan minat baca anak adalah:
1.   Pelatih, guru memberikan peluang yang sebesar-besarnya pada anak untuk mengembangkan cara membacanya sendiri sebagai latihan untuk mewujudkan cara belajarnya yang mandiri.
2.   Konselor, guru menciptakan situasi interaksi bagi anak untuk melakukan proses membaca dalam suasana psikologis yang kondusif demi terwujudnya jiwa, semangat, dan motivasi yang optimal.
3.   Manajer pembelajaran, guru mengelola semua kegiatan anak dalam membaca dengan mendinamiskan seluruh sumber-sumber bacaan ada.
4.   Partisipan, guru hendaknya berperilaku mengajar tetapi juga harus berperilaku belajar melalui interaksinya dengan anak.
5.   Pemimpin, guru menjadi seseorang yang memotivasi anak untuk mewujudkan minat baca yang tinggi.
6.   Pembelajar, guru harus terus belajar dalam menyegarkan komptensinya serta meningkatkan kualitas profesionalnya dalam membantu anak meningkatkan minat bacanya.
7.   Pengarang, guru secara kreatif dan inovatif menghasilkan karya yang akan diberikan anak untuk dibacanya.
Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa peranan guru dalam meningkatkan minat baca anak adalah sangat penting. Hal ini dapat dilihat dari beberapa peranan guru di antaranya adalah sebagai: (1) motivator, guru menjadi seseorang yang selalu mendorong dan memotivasi anak untuk mewujudkan minat baca yang tinggi; (2) dinamisator, guru mengatur dan mengelola semua kegiatan membaca anak dengan mendinamiskan seluruh sumber bacaan ada; (3) supervisor, guru mengawasi proses membaca anak, baik dalam jarak dekat maupun jarak jauh agar anak merasa selalu ada yang mengawasinya; (4) konselor, guru memberikan petunjuk-petunjuk untuk menciptakan susana psikologis yang kondusif demi terwujudnya jiwa, semangat, dan motivasi dalam membaca yang optimal dan (5) evaluator, guru memberikan respons terhadap seluruh kegiatan membaca anak dan menilai hasil bacaan anak dengan memberikan kesempatan untuk menyampaikan hasil pemahaman terhadap yang dibacanya.
A.   Penutup
Berdasarkan uraian pembahasan terdahulu, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa peranan guru dalam meningkatkan minat baca anak adalah sangat penting. Guru merupakan salah satu faktor utama dalam memberikan motivasi dan dorongan untuk menumbuhkembangkan serta meningkatkan minat baca anak. Guru mempunyai beberapa peranan, yaitu:
a.    Motivator, guru menjadi seseorang yang selalu mendorong dan memotivasi anak untuk mewujudkan minat baca yang tinggi;
b.   Dinamisator, guru mengatur dan mengelola semua kegiatan membaca anak dengan mendinamiskan seluruh sumber bacaan ada;
c.    Supervisor, guru mengawasi proses membaca anak, baik dalam jarak dekat maupun jarak jauh agar anak merasa selalu ada yang mengawasinya;
d.   Konselor, guru memberikan petunjuk-petunjuk untuk menciptakan susana psikologis yang kondusif demi terwujudnya jiwa, semangat, dan motivasi dalam membaca yang optimal dan
e.    Evaluator, guru memberikan respons terhadap seluruh kegiatan membaca anak dan menilai hasil bacaan anak dengan memberikan kesempatan untuk menyampaikan hasil pemahaman terhadap yang dibacanya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Mulyono. 1999. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Abror, Abd. Rahman. 1993. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Ali, Muhammad. 2002. Guru dalam Proses Belajar Mengajar. Bnadung: Sinar Baru Algensindo.
Azhari, Akyas. 1996. Psikologi Pendidikan. Semarang: Dina Utama.
Departemen Agama RI. 2003. Pengembangan Profesional dan Petunjuk Penulisan Karya Ilmiah. Jakarta: Ditjen Bagais.
Dimyati dan Mudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Djamarah, Syaiful Bahri dan Aswan Zain. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Sabri, M. Alisuf. 1996. Psikologi Pendidikan Berdasarkan Kurikulum Nasional. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
Surya, H. Mohammad. 2003 Percikan Perjuangan Guru. Semarang: Aneka Ilmu.
Syah, Muhibbin. 2001. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Wahyudin, Dinn, dkk. 2007. Materi Pokok Pengantar Pendidikan. Jakarta: Universitas Terbuka.

[1]H. Mohammad Surya, 2003, Percikan Perjuangan Guru, Semarang: Aneka Ilmu, hal. 222 [2]Muhibbin Syah, 2001, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung: Remaja Rosdakarya, hal. 136
[3]Muhibbin Syah, 2001, Loc.cit.
[4]Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, 2002, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Rineka Cipta, hal. 126
[5]Departemen Agama RI, 2003, Pengembangan Profesional dan Petunjuk Penulisan Karya Ilmiah, Jakarta: Ditjen Bagais, hal. 5
[6]Muhibbin Syah, 2001, Op.cit., hal. 225
[7]Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, 2002, Op.cit., hal. 226
[8]Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, 2002, Ibid., hal. 229
[9]Dimyati dan Mudjiono, 1999, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta, hal. 238
[10]Muhibbin Syah, 2001, Op.cit., hal. 136
[11]M. Alisuf  Sabri, 1996, Psikologi Pendidikan Berdasarkan Kurikulum Nasional, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, hal. 84
[12]Abd. Rahman Abror, 1993, Psikologi Pendidikan, Yogyakarta: Tiara Wacana, hal. 112
[13]Akyas Azhari, 1996, Psikologi Pendidikan, Semarang: Dina Utama, hal. 74
[14]Mulyono Abdurrahman, 1999, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, Jakarta: Rineka Cipta, hal. 200.
[15]Mulyono Abdurrahman, 1999, Ibid.
[16]Mulyono Abdurrahman, 1999, Ibid. hal. 201
[17]Mulyono Abdurrahman, 1999, Ibid., hal. 202
[18]Dinn Wahyudin, dkk., 2007, Materi Pokok Pengantar Pendidikan, Jakarta: Universitas Terbuka,    hal. 9.32
[19]Muhammad Ali, 2002, Guru dalam Proses Belajar Mengajar, Bandung: Sinar Baru Algensindo,   hal. 4
[20]H. Mohammad Surya, 2003, Op.cit., hal. 47

Tidak ada komentar:

Posting Komentar